Monday, August 23, 2010

Pak Tua Itu Sudah Tidak Ada


Bapak tua itu sudah tidak ada. Aku baru menyadari, sudah sebulan ini aku tidak pernah melihatnya. Biasanya ia selalu duduk di depan gang depan rumahku, setiap malam sekitar pukul tujuh sampai delapan malam. Hanya duduk diam, memandangi orang-orang yang lalu lalang, seakan sedang menunggu sesuatu. Entah apa yang sedang ditunggunya.

Bapak itu seorang pemulung sampah. Di depan gang menuju rumahku, ada bak sampah besar untuk warga sekitar. Bapak tua itu selalu memulung sampah-sampah dari bak itu setiap malam. Setelah memulung, ia akan berdiam di depan bak itu, duduk sendirian. Setelah satu atau dua jam, bapak itu akan pergi, terkadang bersama pemulung lain, atau sendiri.

Aku selalu bertemu bapak tua itu sejak lebih dari setahun yang lalu. Setiap aku pulang dari kantor, aku menemukan bapak itu sedang duduk di ujung gang. Awalnya aku merasa kasihan dan penasaran, kenapa bapak itu hanya duduk termenung. Menanti seseorang? Atau membayangkan sesuatu? Tubuh si bapak itu sangat kurus, ringkih dengan hanya selembar pakaian dekil yang dikenakannya menghadapi angin malam di kota ini yang cukup dingin. Terkadang terbesit keinginanku untuk memberinya sebuah jaket, supaya ia tak kedinginan. Tapi bapak itu tampak sudah terbiasa dengan cuaca.

Pertama kali aku menyapanya, ketika aku akan pulang sehabis berbelanja di supermarket. Karena iba, aku membelikan sebotol air mineral untuk si pak tua itu. Ia tersenyum dan berterimakasih dengan sopan. Lama-lama, aku jadi terbiasa dengan sosoknya. Setiap kali aku pergi ke supermarket, atau sepulang kantor, aku teringat akan si bapak itu dan memberikan makanan atau minuman - mulai dari kue donat mahal yang dibelikan bosku, atau hotdog ("Ini roti daging, Pak," jelasku ketika ia agak bingung melihat roti yang lonjong itu) ketika aku pulang dari bioskop. Ketika menjelang lebaran tahun lalu, aku memberikan sekotak sembako untuknya, yang disambut dengan uraian air mata dan doa. Aku hanya bisa mengamini segala hal baik yang ia ucapkan. Tapi yang jelas, setiap kali perasaanku selalu meluap luar biasa bahagianya.

***

"Bapak dulu punya anak perempuan," cetusnya tiba-tiba ketika suatu hari aku menyapanya sepulang kantor. Aku menghentikan langkahku dan menghampirinya. Bapak itu tidak menatapku, tapi matanya menerawang. "Sekarang anak Bapak sudah nggak ada."
Aku melihat air mata yang mengembang di matanya. Kuraih pundak bapak tua yang ringkih itu dan kutepuk pelan-pelan. "Anak perempuan Bapak kenapa?"
"Anak perempuan Bapak sudah nggak ada, neng. Sudah mati. Dia diguna-guna," cetusnya pelan.
Aku terdiam, menunggu ceritanya.
"Dulu Bapak nggak susah, neng. Punya rumah sendiri, punya tanah sendiri, walaupun kecil. Tapi di kampung, banyak warga yang iri, nggak suka kalau ada yang punya lebih. Anak Bapak mati kena guna-guna," cerita si bapak itu dengan suara getir. Matanya menatapku lagi. "Anak Bapak seperti Eneng. Sudah kerja juga." Airmatanya mulai mengalir. "Bapak kangen, neng. Bapak kangen anak perempuan Bapak."
Aku masih terdiam, dan hanya mampu mengusap pundak kurus itu.

Pernah suatu hari, Bapak itu menyapaku seperti biasa. Lalu dia menghampiriku dengan ragu-ragu.
"Anu.. maaf, neng. Bapak sebenarnya malu mau ngomong. Tapi kalau Eneng punya, boleh Bapak pinjam uang dua ribu rupiah, untuk beli makanan di rumah," ujarnya pelan. "Hari ini Bapak belum dapat apa-apa untuk makan."
Aku terenyuh. Dia mau meminjam uang dua ribu rupiah. Hanya dua ribu rupiah. Karena aku tak membawa uang banyak saat itu, aku hanya bisa memberikan uang lima ribu rupiah dan memberikan makanan yang kubawa untuknya.

Ia juga pernah bertanya kepadaku, "Neng, Kalimantan itu jauh ya?" Aku terheran dan kujawab, "Iya Pak, kalimantan itu jauh. Kenapa, pak?" Bapak itu termenung. "Anak Bapak yang laki-laki kerja di Kalimantan. Sudah enam bulan, neng. Bapak kesepian. Tapi katanya, Bapak nggak bisa nengokin, karena jauh. Harus nunggu sampai dia punya uang banyak supaya bisa nengokin Bapak." Aku mengusap pundaknya lagi dan tersenyum kepadanya. "Iya, memang jauh, Pak. Di luar Jawa."
"Di luar Jawa? Kalau begitu, dari sini nggak bisa cuma sehari ya, neng? Pasti mahal ya..."
Aku hanya bisa mengusap pundaknya seperti biasa. "Iya... Bapak sabar aja ya, nanti anak Bapak pasti kembali kok," ujarku lirih.

***

Bak sampah besar di ujung gang itu sudah dibongkar. Sebulan yang lalu, entah bagaimana dan entah di mana tempat sampah warga dipindah. Sejak itu aku kehilangan sosok si pak tua. Kalau aku membeli sesuatu di supermarket, atau membawa makanan sepulang kantor, rasanya ada yang hilang ketika melihat ujung gang yang sekarang bersih dan lengang itu. Tidak ada lagi yang duduk di sana. Tidak ada lagi yang biasa kuberi "roti daging" atau air mineral.

Aku sengaja berdiri menunggu di ujung gang itu, di jam-jam pak tua itu biasa datang dan duduk di sana. Lama kutunggu, tapi bapak tua itu tak pernah muncul. Hanya ada satu orang pemulung yang lewat, dan pemulung itu masih muda, jelas bukan si bapak tua.

Aku kangen bapak tua itu. Aku masih ingin melihatnya tersenyum seperti kalau aku memberikan air mineral untuknya. Aku ingin melihatnya menerima kotak sembako dariku seperti tahun lalu. Aku ingin memberinya lebih banyak dari uang lima ribu rupiah yang kupunya saat itu.
Tapi pak tua itu sudah tidak ada.

{posted by Chibi on 8:57 PM} +

Saturday, August 21, 2010

MERDEKAKAN DIRI, MERDEKA JIWA DAN RAGA


Setiap tanggal 17 Agustus, rakyat Indonesia memperingati hari kemerdekaannya. Sampai tahun ini, sudah 64 tahun bangsa Indonesia merayakan kemerdekaan negeri ini dari belenggu penjajahan bangsa asing. Namun apakah kemerdekaan yang kita dapatkan ini juga merupakan kemerdekaan setiap individunya?

Merdeka berarti terbebas, tidak terbelenggu. Kebanyakan dari kita merasa memiliki kebebasan raga, namun sebenarnya jiwa kita masih terbelenggu banyak hal. Tidak mudah memerdekakan jiwa kita, karena membutuhkan perjuangan diri dan keikhlasan hati.
Belelnggu-belenggu seperti apa saja yang menjajah diri kita?

Seringkali kita masih memiliki perasaan iri hati, dengki, dan ketidakpuasan terhadap orang lain maupun sekitar kita. Mungkin ada yang beranggapan bahwa kebebasan dirinya terampas oleh aturan-aturan yang ada. Misalnya, aturan kantor, pekerjaan-pekerjaan rumah, tugas-tugas sekolah, dan lain-lain. Diri rasanya tersiksa ketika menerima hal-hal tesebut. Hal ini juga merupakan salah satu bentuk penjajahan terhadap jiwa kita. Sehingga kita berjuang untuk melawan rasa malas, rasa kesal, keterpaksaan, dan ketidaksukaan kita terhadap kewajiban-kewajiban kita. Padahal sebenarnya kalau kita telaah dengan seksama, segala hal yang membelenggu diri kita adalah diri kita sendiri. Terkadang kita masih merasa malas, kesal, terpaksa, atau tidak suka dengan hal-hal di sekitar kita. Hati kita masih sulit rasanya untuk menerima hal-hal di luar keinginan kita. Tanpa kita sadari, perasaan-perasaan negative inilah yang membelenggu jiwa kita sehingga kita tidak dapat bebas mengapresiasikan diri.

Lalu bagaimana caranya supaya kita bias memerdekakan diri kita sendiri? Sebagai manusia, kita tentu tak lepas dari hak dan kewajiban. Kita dapat mulai membuka mata hati kita dan memilah mana hak dan kewajiban kita. Dengan begitu, kita juga belajar menerima hal-hal yang mungkin di luar kehendak kita. Dengan membesarkan hati, membuka ketulusan dan toleransi, kita dapat membebaskan jiwa dan pikiran kita dari hal-hal negatif seperti rasa iri, dengki, tidak puas, amarah, malas, dan keterpaksaan. Setiap manuisa dilahirkan berbeda, namun kita hidup bersama dan kita dapat membangun kebersamaan dengan mengatasi segala perbedaan yang ada, dan permasalahan yang timbul. Berpegang pada keyakinan kita masing-masing, setiap agama pasti mengajarkan bahwa kita harus mencintai sesama manusia dan membuka hati untuk memaafkan diri sendiri dan orang lain.
Apabila kita dapat mengiklaskan hati, maka kita dapat membebaskan jiwa dan pikiran kita dari segala belenggu sehingga kita dapat meraih kemerdekaan diri yang hakiki.

{posted by Chibi on 5:11 PM} +




 



 

Song:'80s-'90s songs; Matt Hires; some rocks
Obsession: Publishing my book
Reading: Horrible Histories
Movie: Clueless
Addiction: Books & Mp3
Project: Reviews and Translations


 

     


 

     

fiction fetish   hangeul2korean-romanization

31 hari ngeblog